“Teguran itu kujadikan pelajaran”

           Susi setahun yang lalu takkan pernah sama dengan Susi hari ini. Dia setahun yang lalu masih berseragam putih abu, duduk di bangku kelas tiga SMK, siswi yang tidak pernah suka dikekang kedua orangtuanya. Ya, namanya Susilawati. Gadis yang akan menginjak usia 18 tahun itu berambut lurus panjang, badan yang aduhai, senyum yang manis, yang membuatnya dikejar beberapa laki-laki . Termasuk mantan kekasihnya, Ruli.

            Kala itu dalam hidupnya tak pernah terbayangkan akan ada peristiwa di 6 November 2011, yang membuatnya sampai saat ini terus berusaha mengubur lubang itu dalam-dalam. Tepat di siang hari itu sekitar pukul dua, Ruli mengajaknya bertemu di Mesjid Agung Majalaya dan membawa Susi pergi dengan motor Satria merahnya. Sepanjang jalan tak ada sedikitpun rasa curiga mengintai. Sampai disuatu Villa kosong ia melihat ada beberapa orang pria disana, teman-teman Ruli.

Susi dijebak, ia tak mengira Ruli akan membawanya ke sebuah Villa kosong di kawasan Paseh, Majalaya. Di tempat itulah Ruli melakukan aksinya, Susi diberi minuman yang sebelumnya sudah diberi obat yang menyebabkan Susi mabuk. Saat itu lah Ruli melakukan aksi bejatnya bersama tiga orang kawannya. Susi diperkosa. Begitu keji dan memalukan.

Entah kepada siapa saat itu ia harus mengadu, ingin rasanya ia berteriak, meminta pertolongan. Namun tak ada yang mendengar. Ia menangis sejadi-jadinya, dan para lelaki itu dengan kondisi setengah sadar, dengan puasnya tertawa tanpa sedikitpun penyesalan. “Mengapa harus terjadi padaku Tuhan”, jeritnya dalam hati.

Malam itu terpaksa ia harus menginap di rumah salah satu temannya, dengan perasaan was-was. Ia tahu esok hari kedua orangtuanya akan memarahinya, menyiksanya. Hal itu memang selalu terjadi ketika ia terlambat pulang dari sekolah, dan hal itu pula lah yang membuatnya banyak berbohong. Bagi Susi sikap orangtuanya terlalu over protective dan tidak pernah memberinya kebebasan. Namun larangan-larangan itu tidak pernah ia hiraukan.

Sepanjang malam itu ia tak bisa tertidur, sepanjang malam itu pula ia terus menangis. “Apakah ini hukuman dari-Mu Tuhan atas kesalahanku selama ini?”, dalam batin pun ia terus merintih. Hatinya sakit. Kembali dalam awang-awang, ia mengingat kejadian enam bulan yang lalu.

Enam bulan sebelumnya kasus serupa pernah menimpa dirinya, namun dalam hal “suka sama suka”. Saat itu Susi dilaporkan hamil dan pihak keluarganya meminta pertanggung jawaban dari keluarga Ruli. Keluarga Ruli saat itu tidak mau menikahkan anaknya karena pertimbangan Ruli yang masih sekolah, sampai akhirnya memberi uang sebesar lima juta rupiah untuk menggugurkan kandungan Susi.

Setelah kasus itu berlalu, kedua orangtuanya meminta agar Susi tidak pernah berhubungan lagi dengan Ruli. Namun dalam hati Susi sangat mencintai orang itu, pria itu. Ia tak pernah menghiraukan ucapan kedua orangtuanya, ia masih saja berhubungan dengan Ruli. Sampai kejadian ini menimpa dirinya, ia sangat menyesal tak mendengarkan nasehat orangtuanya.

            Keesokan harinya, dengan kondisi yang lusuh ia diantar oleh temannya pulang ke rumah. Sesuai dugaan, ibunya memarahi dan menyiksanya sambil sesekali menghardiknya dengan pertanyaan “Dari mana saja tidak pulang? Orang-orang di rumah khawatir!”. Ia tidak bisa menjawab, saat itu hanya airmata yang bisa mewakili rasa sakitnya. Akhirnya dengan terbata-bata dan mengumpulkan segudang keberanian, ia berusaha menjelaskan apa yang telah dialaminya kemarin. Linangan airmata pun tak dapat ia hentikan. Mendapat penjelasan dari anaknya, kemarahan Ibu dan Ayah Susi semakin menjadi-jadi, mereka terus menyiksa Susi sambil ikut menangis. Dalam hati Susi berkata “Maafkan aku Bu, Pak”.

            Suasana hening tak ter-elakkan hingga sore hari itu. Kebingungan menyelimuti ruangan yang biasanya hangat. Di ruangan itu tampak kesedihan yang mendalam dari raut muka Ibu, Ayah, dan Kakaknya, untuk yang kesekian kalinya Susi berulah. Memang ulah ini tak bermula darinya, tapi andai ia mau berusaha memperbaiki kesalahan-kesalahan masa kemarin mungkin kejadian ini takkan pernah ia alami. Penyesalan demi penyesalan terus menggerogoti batin Ibu Susi.

            Susi hanya bisa berdiam diri di ruang tidurnya dengan kondisi yang masih belum stabil ditambah keadaannya yang belum sepenuhnya sadar akibat pengaruh obat-obatan  dari minuman yang ia minum malam itu. Melihat kondisi anaknya yang menghawatirkan, Ibu Susi membawanya ke klinik terdekat rumah untuk diperiksa dan diberi obat oleh dokter.

            Ada langkah yang harus mereka ambil daripada berdiam diri menyesali kejadian yang menimpa anak mereka pikir kedua orangtua Susi. Akhirnya mereka meminta bantuan kepada pihak kepala dusun untuk mengurus kasus ini, sekalipun aib tapi harus ada penyelesaian.

            Keesokan malam harinya Ayah Susi beserta kepala dusun dan dua orang lainnya bergegas ke rumah Ruli untuk menyelesaikan kasus ini. Nampak sebuah rumah bercat hijau yang cukup besar dan mewah didepan mata mereka. Dengan membawa hati yang menahan emosi Ayah Susi berusaha mengetuk pintu rumah itu sembari berkata “Assalamu’alaikum”.  Muncul sesosok perempuan dengan senyumnya mempersilahkan mereka untuk masuk kedalam rumah.

            Kebingungan hinggap di wajah kedua orangtua Ruli di ruang tamu itu. Hingga penjelasan demi penjelasan yang diceritakan oleh kepala dusun menemukan titik temu, dimana kedua orangtua Ruli mulai mengerti permasalahannya. Ayah Susi tidak banyak berkisah, ia takut emosinya meluap jika ia berbicara terlalu banyak.

            Malam itu memang Ruli sedang tidak ada di rumah, namun orangtuanya berusaha untuk menyuruh seseorang untuk mencari dan menyuruh Ruli pulang. Ternyata Ruli sedang ada di rumah salah seorang temannya yang jarak rumahnya tidak terlalu jauh. Dengan muka yang tampak kosong dan teler, Ruli memasuki ruang tamu itu. Ia diserang oleh beberapa pertanyaan yang dilontarkan orang-orang yang berada di ruangan itu. Dengan sikap yang santai ia mengaku bahwa benar ia telah melakukan tindakan keji itu beserta dua orang kawannya. Ia mengakuinya tanpa perasaan bersalah dibenaknya. Pengaruh obat-obatan dan minuman keras telah merasuk terlalu dalam di otaknya, bahkan di ruangan itu ia mengaku bahwa ia tengah mabuk.

            Orangtua Ruli hanya bisa pasrah, ia menyerahkan kasus ini kepada pihak keluarga Susi mau dibawa kemana. Sekalipun mau dilaporkan ke pihak yang berwajib, mereka ikhlas. Kedua orangtua Ruli sudah cukup dipusingkan oleh tindakan anaknya selama ini. Dengan wajah tertunduk Ibu Ruli meminta maaf kepada Ayah Susi, ada penyesalan yang terlontar dari mulutnya kala itu. Mungkin jika ia bisa lebih memperhatikan anaknya, sikap Ruli bisa lebih terkontrol dan tidak menjadi anak yang nakal seperti sekarang.

Keputusan sudah bulat-bulat diputuskan, demi menghindari gunjingan dari tetangga jika suatu hari Susi hamil, pihak keluarga Susi meminta pertanggung jawaban agar anak mereka dinikahkan saja. Dengan permintaan pernikahan itu dilakukan sewajarnya. Keluarga Susi ingin diadakan pesta pernikahan selayaknya orang yang berbahagia menyambut pernikahan.

 Pihak keluarga Susi sudah mempertimbangkan segala resiko yang akan mereka terima, menikahkan Susi dan Ruli telah dipilih sebagai jalan keluarnya. Termasuk menimbang bahwa masa depan Susi untuk melanjutkan sekolahnya sudah tertutup, tiga tahun bukan merupakan waktu yang singkat, segala pengorbanan orangtua untuk menyekolahkan Susi harus dibayar perih dengan kejadian ini.

            Tanpa pikir panjang pihak keluarga Ruli menyetujui keputusan itu, walau Ruli menerimanya dengan berat hati. Ruli mengaku bahwa sebenarnya ia tidak mencintai Susi, ia melakukan hal keji itu hanya untuk kepuasan nafsunya saja.

            Setelah persetujuan yang diadakan malam hari itu, dua hari kemudian Ibu Ruli bertandang ke rumah Susi dengan berita yang membuat keluarga Susi terhenyak. Ibu Ruli meminta maaf tidak bisa menyanggupi permintaan untuk mengadakan pesta pernikahan yang mewah. “Jika mau dinikahkan saya setuju, tapi maaf tidak bisa memberi biaya untuk pesta, kalau hanya untuk mas kawin saya sanggup”, ucapnya siang itu.

            Dua sisi yang membuat keluarga itu kembali di rundung kebingungan. Di satu sisi mereka ingin anaknya Susi mendapatkan kebahagiaan pesta pernikahan layaknya orang lain. Namun di satu sisi, apapun kondisinya mereka harus segera menikahkan Susi, karena bagi mereka tidak ada pilihan lain. Jika kasus ini harus di laporkan ke pihak yang berwajib, keluarga Susi takut masalahnya tambah panjang, dan berbelit-belit, apalagi kalau tetangga mereka tahu kejadian yang menimpa anak mereka, anak mereka yang diperkosa oleh empat orang laki-laki.

Tanggal pernikahan yang sebelumnya sudah ditetapkan, akhirnya harus mereka undur karena adanya berita dari Ibu Ruli hari itu. Beberapa hari berlalu, keputusan yang penuh dengan pertimbangan akhirnya dibulatkan kuat-kuat. Susi tetap harus dinikahkan dengan Ruli bagaimana pun kondisinya, sekalipun hanya prosesi ijab kabul saja, yang terpenting mereka syah dinikahkan. Persiapan dilakukan oleh pihak keluarga Susi dengan alakadarnya.

Di pagi yang tak begitu cerah, 14 November 2011, Susi mengawali pagi itu dengan beribu kegelisahan. Ia harus mengubur semua mimpi-mimpinya di pagi itu, tampak kesedihan yang dalam menyelimuti wajahnya, padahal pagi itu ia di dandani bak permaisuri. Tetes-tetes airmata pun tak dapat ia bendung lagi ketika hampir tiba detik-detik menjelang datangnya sang mempelai pria.

            Memang jauh dari perkiraan, Ruli sang mempelai pria datang didampingi Ayah dan beberapa saudara-saudaranya, namun tak nampak Ibunya ikut mendampingi. Ruli datang dengan penampilan yang seadanya, ia hanya memakai jaket, celana jeans dan sendal jepit, dengan muka yang acak-acakan. Tentu saja hal itu semakin membuat Susi kecewa dan ia semakin menahan lukanya.

            Tepat pukul sepuluh pagi itu di rumah sederhana yang bertempat di Kp. Bojongbubu Rt. 03 Rw. 03, Solokanjeruk, acara ijab kabul dimulai. Dengan suasana yang mengharu biru acara tetap berlangsung sesuai dengan rencana. “Terima saya nikah Susilawati binti Jejeh dengan mas kawin sebesar seratus ribu rupiah dibayar kontan”, ucap Ruli dengan terbata-bata. Dan alhasil pengucapan janji ijab kabul itu harus diulang sampai tiga kali.

            Sekali lagi hati Ibu Susi tersiksa, ia merasa terhina dengan mas kawin yang diberikan oleh Ruli. Bahkan untuk menikahi anaknya saja Ruli tidak seniat itu. Batin Susi lebih tercabik lagi. Ia sangat mencintai pria yang kini sudah syah menjadi suaminya, ia memang menginginkan pernikahan ini, tetapi tidak dengan keadaan yang seperti ini. Mereka dinikahkan karena keterdesakan.

            Ijazah tak didapat, kebahagiaan pun tak didapat. Mungkin memang sudah takdir, belum juga menikmati biduk pernikahan dan rumah tangga, Susi harus kembali di uji dengan masuknya Ruli ke bui. Seusai ijab kabul pagi itu, Ruli dipanggil oleh pihak kepolisian karena ada yang melaporkannya dengan kasus serupa, yakni pemerkosaan.

Hati Susi menggigil, kejadian yang menyakitkan harus bertubi-tubi menimpanya. Belum lagi di hari-hari kedepan, ia harus menahan malu dan cemoohan orang lain. Namun setidaknya  ia masih punya sedikit harapan yang diberikan oleh keluarganya. Ia masih punya orang-orang terdekat yang mau menerimanya walaupun dengan noda yang dimilikinya. “Aku harus tetap bertahan”, gumam Susi diselingi airmata mengalir di pipinya.

Beruntunglah ia karena pihak sekolah masih mau menerimanya untuk meneruskan kembali belajar di SMK tempat semula ia menuntut ilmu. Dengan segala ketakutan yang mengintai, ia berusaha bangkit, menghadapi segala ketidakmungkinan. Ia harus lulus sekolah, baginya tak boleh ada lagi kata mengecewakan orangtua. Ketakutan itu setiap hari ia hadapi satu persatu, cemoohan dari tetangga dan teman-teman sekolah yang terdengar menyakitkan ditelinganya dengan lapang dada ia terima. Namun tak sedikit pula orang-orang yang mendukungnya, mendorongnya untuk selalu tetap bangkit. Sampai Ujian Akhir Nasional itu tiba ia langkahkan kakinya dengan optimis dengan harapan yang besar untuk bisa lulus sekolah dan memberi kebahagiaan bagi orangtuanya yang selama ini sempat tertunda.

            Ijazah yang akhirnya didapatkan ia jadikan sebagai kunci untuk membuka kehidupan yang lebih baik. Sesegera mungkin ia melamar pekerjaan. Surat talak untuk Ruli pun sudah ia ajukan. Lembaran lama itu harus segera ia kubur. Mendapat gelar janda di usia muda bukanlah hal yang mudah ia terima. Ia hanya berharap suatu hari akan ada lelaki yang bisa menerima dirinya apa adanya. “Dalam hati saya teguhkan jangan sampai mengulang terus kesalahan yang sama. Lebih baik jadi mantan orang nakal, daripada jadi mantan orang baik. Saya kapok, saya hanya ingin membahagiakan orangtua saat ini. Semua teguran dari Tuhan itu kujadikan pelajaran”, tutur wanita yang saat ini sudah bekerja sebagai staff administrasi di sebuah perusahaan garmen itu.

Related Post



Posting Komentar